
Di era digital seperti sekarang, teknologi semakin merambah ke berbagai aspek kehidupan, termasuk di desa. Internet, media sosial, dan aplikasi pesan instan telah mengubah cara masyarakat berkomunikasi. Namun, pertanyaan besarnya adalah, apakah teknologi benar-benar bisa menggantikan interaksi sosial langsung yang sudah menjadi budaya di desa?
Di desa, interaksi sosial bukan sekadar berbicara, tetapi juga melibatkan kebersamaan, gotong royong, dan nilai kekeluargaan. Warga berkumpul di pos ronda, bekerja sama saat panen, atau sekadar mengobrol di warung kopi. Teknologi mungkin memudahkan komunikasi, tetapi apakah bisa menggantikan hangatnya tatap muka dan kebersamaan dalam keseharian?
Meski teknologi membawa kemudahan, ada dampak sosial yang perlu diperhatikan. Semakin banyak orang yang lebih memilih berkomunikasi lewat ponsel daripada bertatap muka langsung. Anak muda lebih sering bermain gadget daripada bermain bersama teman-temannya di lapangan. Hal ini dapat mengurangi interaksi sosial yang selama ini menjadi ciri khas kehidupan desa.
Namun, bukan berarti teknologi sepenuhnya buruk. Jika dimanfaatkan dengan bijak, teknologi justru bisa memperkuat interaksi sosial, bukan menggantikannya. Misalnya, grup WhatsApp warga bisa digunakan untuk mengoordinasikan kegiatan gotong royong atau informasi penting lainnya. Teknologi juga bisa menjadi sarana edukasi dan memperluas wawasan masyarakat desa.
Jadi, jawabannya bukan soal teknologi menggantikan interaksi sosial, melainkan bagaimana masyarakat desa bisa menggunakannya sebagai alat pendukung. Interaksi langsung tetap penting, sementara teknologi bisa menjadi jembatan untuk memperkuat hubungan sosial, bukan menggantinya. Dengan keseimbangan yang tepat, desa bisa maju tanpa kehilangan nilai-nilai sosial yang sudah ada sejak dulu.
Baca juga: Tentang Nara